Greatmind Mirror

Bercakap Bersama Hannah Al Rashid: Kekerasan Seksual

Foto penulis

Marissa Anita

Jurnalis & Aktris

28 Nov 2020   •   10 menit

Society Planet & People

M: Kamu juga pernah mengalami kekerasan seksual beberapa kali. Kalau kamu nyaman aja Han, boleh kamu ceritakan pengalamanmu. Apa dampaknya pada dirimu secara fisik dan mental? Apakah itu juga mengubah perilakumu di masyarakat?

H: Saya, seperti banyak perempuan di Jakarta atau Indonesia, mengalami catcalling kayaknya hampir tiap hari, mengalami pelecehan verbal yang terjadi di ruang publik. Pernah bagian tubuh saya [yang pribadi] digrepe (dipegang) bagian dada dan bokong ketika saya di jalan. Dalam kasus itu terutama, saya rasakan betul perubahan dalam diri saya. Saat dada elo dipegang di saat elo nggak mau, di tengah jalan, di kompleks rumah elo sendiri yang seharusnya jadi tempat aman buat elo, dan saat elo ngelewatin pos sekuriti dan ada bapak-bapak di situ.

Mungkin itu juga yang membuat gue sakit hati. [Waktu kejadian] gue lari kejar si pelaku tapi mereka berhasil kabur. Gue marah dan kalut pas ngelewatin pos sekuriti. Bapak-bapak sekuriti tanya, “Kenapa neng?” Gue bilang, “Saya baru dilecehkan.” Jawaban mereka, “Oh itu mah udah biasa.” Terus gue langsung, “Apa?!” Makin panas, makin marah.

Ternyata kejadian buruk itu membuat gue jadi sangat waspada. Kalau lagi naik motor, ada motor yang mendekat, gue langsung menutup diri, nutupin dada. Kalau dulu pakai tas di belakang, sekarang di depan. Tahun ini saja, kalau naik ojek, ada suara motor terlalu dekat, tiba-tiba gue terpicu. Padahal pelecehan seksual itu sudah enam tahun yang lalu. Seperti PTSD (post-traumatic stress disorder).

M: Gue turut sedih elo mengalami kejadian ini, Han . . .

H: Yang paling gue ambil dari pengalaman itu adalah gue ngga mau kejadian ini membatasi kebebasan gue untuk mengekspresikan diri, bekerja, jalan dan nongkrong sama teman teman gue.

Jalanan itu gue lewatin setiap hari dan gue tetep jalan kaki lewat situ. Gue nggak menutup diri, mengunci diri, dan mengubah cara hidup gue karena kejadian ini. Karena kalau gue berubah, berarti pelaku menang. Dan emang gue keras kelapa, gue nggak mau mereka menang.

Selain itu gue juga pernah mengalami pelecehan seksual di lokasi syuting. Pelecehan seksual ini membuat gue sadar relasi kuasa, struktur kekuasaan di dalam industri.

Ini terjadi tidak hanya di industri perfilman tapi di industri mana pun dimana ada laki laki yang punya power (kekuasaan) sehingga bisa melecehkan perempuan yang dianggap levelnya secara profesi di bawah mereka. Seakan-akan kekuasaan memberikan mereka impunitas (kekebalan).

Saat itu, gue bicara kepada beberapa orang produksi film. Sayangnya pelaku nggak diapa-apain. Memang ada ketakutan juga dari gue kalau misal ini ditindaklanjuti secara formil.Gue tahu pelaku lebih berkuasa dibandingkan gue. Dia bisa menghentikan karir gue di dunia perfilman. Dia bisa menghentikan karir pekerja seni perempuan lain yang telah dia lecehkan.

Industri kita kecil. Kalau pelaku sampai tahu ada yang lapor, dia tahu kan korban dia siapa. Karena kekuasaan dia, dia bisa hentikan karir kami korbannya.

Relasi kuasa ini gue pikirin terus. Tapi sekarang gue berusaha untuk reach out kepada filmmaker untuk ngebahas isu ini; reaching out ke aktor perempuan lainnya supaya setidaknya mereka tahu mereka nggak sendiri. Dan akhirnya, kalau memang bisa, menciptakan semacam support system dan bekerja sama dengan para filmmaker yang peduli dengan isu ini. Bisa advokasi ke mereka untuk memasukkan pasal soal pelecehan seksual di dalam kontrak, atau setidaknya membuat ruang aman di tempat syuting dan membicarakan isu ini dengan terbuka. Gue tahu filmmaker seperti Mira Lesmana, Meiske Taurisia, Gina S. Noer, Joko Anwar, mereka berkomitmen untuk melakukan itu. Gue juga pernah bicara dengan Timo Tjahjanto. Gue rasa terutama dengan filmmaker laki-laki, mereka semakin sadar tentang ini dan mencoba untuk membuat perubahan. Dan mungkin peran gue adalah memastikan mereka menjalankan kata-kata mereka.

M: Elo nggak sendiri. Gue juga di sini. Gue akan bantu untuk mengingatkan mereka untuk masukkan pasal perlindungan dari kekerasan seksual di kontrak kerja.

H: Tapi masih ada beberapa film maker yang bilang, ‘Itu kan urusan pribadi, urusan personal.’

M: (Marissa menganga) maksudnya?

H: Jadi intinya, bukan kewenangan mereka untuk mengatur. Mereka bilang, “Itu kan terjadi antara elo sama orang ini (pelaku).” Mereka harus sadar, itu terjadi di ruang profesional, di tempat kerja mereka sebagai filmmaker. Dan mereka sebagai yang punya otoritas harus membuat inisiatif untuk memastikan setiap pekerja di dalam produksinya merasa aman.

M: Absolutely dong. Haruslah. Ini sebetulnya bisa diimplementasikan ke semua perusahaan sih. . .

H: Bisa banget. Ini dia tentang relasi kuasa, pelaku yang berkuasa akan selalu merasa kebal [dari konsekuensi] kalau orang yang di bawahnya nggak ngomong dan nggak ada ruang untuk ngomong. Bahkan ada teman yang pernah cerita, dia dilecehkan oleh seseorang dari bagian HR (Human Resource).   

M: Ah gila . . .

H: Orang yang seharusnya bisa menjadi go-to person dengan hal hal kayak gini, malah HR-nya yang melecehkan dia. Kita harus mulai untuk menanggapi ini dengan serius. Kita harus lakukan sesuatu [untuk mengubah ini].

M: Makanya ini yang membuat RUU PKS begitu urgen untuk dibahas dan digolkan. Kamu sempat bicara tentang safe space atau ruang aman. Itu apa?

H: Ruang aman adalah tempat/orang dimana korban kekerasan seksual bisa membicarakan kekerasan seksual yang dia alami. Ruang aman sangat penting karena stigma yang terlalu diberatkan pada korban, aib yang dikaitkan ke korban. Ini sangat sulit untuk dihadapi sendirian. Lebih sering korban merasa sendiri karena pada umumnya membicarakan hal ini tidak didorong dalam masyarakat kita. Ini membuat ruang aman penting. Ruang aman itu harus berpihak kepada korban dan harus tanpa penghakiman. Harus mendengarkan saja sih.

Kadang kalau ada teman yang curhat ke kita, mungkin karena kita nggak nyambung karena nggak pernah mengalami, kita jadi suka kasih saran ya nggak sih? Padahal kalau elo nggak pernah berada dalam posisi korban, elo bukan di tempat untuk kasih solusi karena elo nggak tahu apa yang mereka alami, apa yang ada di pikiran mereka. Cara elo untuk tahu adalah dengan mendengarkan mereka.

Dengerin aja. Dan nanya balik malah, ‘Apa yang elo butuhkan dari gue?’ Itu yang selalu gue lakukan atau berusaha untuk lakukan. Saat ada yang datang ke gue dengan cerita kasus mereka, gue dengarkan, gue katakan gue turut sedih itu terjadi pada mereka, gue di sini, apa yang bisa gue lakukan, apa yang mereka butuhkan.

Kalau mereka butuh bantuan hukum, gue hubungkan dengan LBH Apik. Butuh bantuan psikologis, gue arahkan ke Yayasan Pulih misalnya. Dengan ruang aman itu kita bisa menciptakan jaringan dari banyak pihak yang bisa membantu.

M: Dari cerita para penyintas yang ke Hannah, apa dampak psikologis kekerasan seksual terhadap korban kekerasan seksual?

H: Ada sikap menyalahkan diri. Bukan karena korban yang salah, korban nggak salah sama sekali. Yang salah 100% adalah pelaku.  Tapi masyarakat kita cukup kejam kepada korban kekerasan. Disalahkan bajunya lah, disalahkan dia keluar kemana lah, disalahkan bergaul dimana lah, dia ngapain lah. Seakan-akan kita fungsi otomatisnya fokus ke perempuan dulu. Terjadi banyak korban menyalahkan diri karena pada dasarnya masyarakat terlalu sering menyalahkan korban.

Kita harus ubah cara berpikir seperti itu. Yang pertama yang harus disalahkan 100% adalah pelaku. Apa pun alasan pelaku, pelaku sudah melakukan sebuah kejahatan. Kita harus fokus pada ini.

Kita harus mulai lebih banyak pembicaraan tentang ini antara orang tua ke anak karena terlalu banyak korban yang mau cerita ke orang tua tapi orang tua malah menyalahkan balik atau bingung mesti gimana. Misal, [ketika pelecehan/kekerasan seksual] terjadi di umur yang sangat muda, korban dianggap anak kecil yang tidak tahu apa yang dia lakukan atau bahkan dianggap berbohong. Bisa bayangkan mengalami kekerasan seksual ketika anak-anak? Dimana orang tua yang seharusnya menjadi pendukung nomer satu malah menyalahkan balik dan menyuruh korban untuk diam karena ini adalah aib.

Terlalu banyak tekanan terhadap korban sehingga banyak yang butuh bantuan psikologis, butuh pemulihan. Karena nggak ada ruang aman tempat mereka memproses semua yang terjadi, mereka butuh RUU PKS karena sangat mengatur itu. Pemulihan adalah salah satu aspek utama dari RUU PKS.

Selama ini kita lupa, seorang korban bisa melewati sistem peradilan, memenangkan kasusnya (meski itu sangat minim sekali), tapi setelah pelaku sudah masuk penjara pun, itu belum selesai. Korban harus membawa perasaan (trauma) ini sepanjang hidup mereka. Dan kalau ini tidak diatasi, ini akan mempengaruhi aspek hidup mereka yang lain. Mari kita berhenti menyalahkan korban. Mari didik diri kita sendiri. Kita semua bisa mendukung dan mendesak [pengesahan] RUU PKS ini.

M: Tadi kamu menyebut stigma dan menyalahkan korban. Kenapa masyarakat kita cenderung seperti itu? Akarnya dari mana menurutmu?

H: Patriarki dan maskulinitas yang toxic. Bahwa menjadi seorang lelaki berarti harus menunjukkan kuasanya; laki-laki tidak boleh menunjukan kelemahannya; laki-laki nomor 1, perempuan nomor 2. Kalau lelaki dianggap masyarakat kelas satu dan perempuan kelas dua, rasa hormat laki-laki terhadap perempuan otomatis berkurang. Kalau kamu tidak menganggap perempuan setara atau pantas dihormati, ya melakukan kejahatan seperti kekerasan seksual adalah sesuatu yang akan lebih sering terjadi.

Yang paling disayangkan justru saat perempuan pun melanggengkan cara berpikir seperti ini. Waktu dada gue dipegang orang nggak di kenal di jalan pulang, komentar dari teman perempuan gue adalah, “Makanya jangan jalan kaki malam-malam. Besok naik taksi aja ya.” Gue yakin niat dia baik, tapi dia nggak sadar bahwa yang dia tuntut dari gue adalah gue mengubah cara hidup gue demi menyesuaikan diri dengan kelakuan pelaku pelecehan. Siapa sih yang punya uang untuk naik taksi kemana pun mereka pergi? Saya suka jalan kaki dan saya mau jalan kaki. Saya nggak mau mengubah hidup saya hanya karena ada laki laki yang justru melakukan kesalahan. Fokus kepada mereka dong, bukan ke saya.

Ada istilah boys will be boys (begitulah laki-laki). Itu adalah istilah yang sangat problematik. Bahwa laki laki memang seperti itu, jadi abaikan saja. Kita nggak boleh kayak itu. Kita harus membesarkan anak lelaki kita untuk menjadi manusia yang terhormat dan menghormati setiap manusia. Budaya dan sistem patriarki sangat punya andil dalam masalah ini. Kesetaraan gender adalah sesuatu yg kita butuh untuk membongkar masalah ini.

M: Tugas bagi kedua orang tua untuk mengajarkan terutama pada anak laki-lakinya untuk menghormati manusia apa pun gendernya. Sekarang gender juga makin banyak tuh Han . . .

H: Saya kan Bugis. Dalam budaya Bugis ada lima gender. Dari dulu progresif. Ha ha ha.

M: Ada lagi yang mau kau bagi?

H : Mungkin banyak teman di luar sana yang mengalami kekerasan seksual, saya mau bilang bahwa ada dukungan untuk kalian. Saya selalu di sini jika butuh dihubungi. Bisa juga cek akun seperti Hollaback Jakarta (@hollaback_jkt), Lentera Sintas Indonesia (@lentera_id) dan LBH Apik (@lbhapik.jakarta). 

Saya berharap kita bisa berhenti menyalahkan korban, bisa berpihak pada, mendengarkan dan berempati terhadap korban. Dan terutama, desak pengesahan RUU PKS. Tahu nggak, gue kadang melamun kalau ada laki-laki kurang ajar waktu lagi di jalan, dicolek atau apa, gue bisa bilang, ‘Kamu bisa kena pasal UU PKS! Jangan gitu ya, pak!’ Kita semua akan merasa diperkuat dengan undang-undang ini.

M: Semoga kita maju tentang ini. Gue yakin di luar sana ada laki laki feminis. Kita butuh juga kerjasama dari laki laki . . .

H: Kita butuh sekutu laki-laki. Laki laki di luar sana, kalian nggak ngerasa cowok-cowok brengsek ini memcemarkan nama baik kalian ya? Kita tahu yang melakukan kekerasan seksual pastinya minoritas, nggak semua lelaki seperti itu.

M: Nggak. My husband is great. Ha ha ha.

H: Suami elo keren! Dia sangat menghormati perempuan. Kita butuh berjuang bersama dimana laki-laki bisa menegor laki-laki pelaku kekerasan seksual. Karena ujung-ujungnya bukan cuma kita perempuan yang jadi korban patriarki dan maskulinitas beracun (toxic masculinity), laki-laki yang jadi korban juga tertekan. Itu juga nggak bagus buat kalian, boys. Yuk, berjuang bersama kami perempuan.


Kunjungi tulisan asli di: https://greatmind.id/article/bercakap-bersama-hannah-al-rashid-kekerasan-seksual